Refleksi Hari Santri dan Sumpah Pemuda – Berkarya dengan Aksi Nyata

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Bila ada bulan primadona, maka bulan Oktober adalah juaranya. Terlebih bagi para Santri dan Pemuda di Indonesia. Pasalnya, dalam kurun waktu seminggu, diperingati 2 (dua) peristiwa penting nan bersejarah bagi kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa itu adalah Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Bila menilik historis, Peringatan HSN ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta. Dengan demikian, HSN sudah diperingati kali ke-6 sejak pencanangannya di tahun 2015. Pemilihan tanggal 22 Oktober bukan tanpa sebab. Tanggal ini sebagai bukti sejarah ditetapkan Deklarasi Maklumat Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Melalui resolusi ini menjadi pelecut semangat bagi umat muslim, terlebih kepada kaum santri untuk maju di medan perang, mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Hal ini dapat terlihat dari perjuangan Kaum Paderi di Minang di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Pun begitu dengan perjuangan Pangeran Diponogoro di Surakarta.

Penetapan tanggal tersebut juga merupakan pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar dari umat Islam dalam merebut dan mempertahankan kemederkaan. Mengakui andil besar para ulama dan kaum santri. Maka, santri saat ini dapat membusungkan dada dan bernapas bangga dengan pengakuan ini serta secara moral harus melestarikan perjuangan ini dengan cara lain di masa kini.

Peristiwa lainnya adalah Hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober. Secara historis momentum Sumpah Pemuda tak kalah hebat sejak dikumandangkan di Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, 93 tahun yang lalu. Melalui ikrar sakral ini, semangat satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa menjadi kalimat sakti yang dapat mempersatukan para pelajar dari seluruh Indonesia untuk bersama-sama melawan penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Terlebih di momen tersebut Lagu Indonesia Raya dikumandangkan untuk pertama kalinya, meruntuhkan semua ego, menyatukan semua rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku atau agama, bersatu atas nama bangsa Indonesia.

Laiknya peringatan, dua hari besar ini dirayakan dengan skala besar dan megah. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah peringatan hanya sebatas seremoni dan tanpa arti? Jawaban atas pertanyaan ini cukup dijawab dalam hati dan tercermin dalam pergerakan saat ini.

Peran santri dan pemuda telah tercatat dengan tinta emas dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Maka sudah selaiknya, santri dan pemuda saat ini harus menumbuhkan jiwa penantang dan membuktikan diri dapat berjuang dengan cara yang berbeda, dengan karya sebagai wujud aksi nyata.

Perrwujudan karya bisa dibuktikan dengan semangat berwawasan luas, berpikiran cerdas, beradab taat asas, pergerakan produktivitas, hingga melahirkan karya yang berkualitas. Santri dan Pemuda bisa berkarya sesuai bidangnya. Santri dari segi insklusivitas agamis sedangkan pemuda eksklusivitas humanis. Contoh sederhana, karya yang dapat menghubungkan santri dan pemuda adalah literasi.

Santri dan pemuda menjadi kaum literat yang gandrung dengan buku dalam aktivitas membaca, gemar berdiskusi dan menelaah setiap hal yang ada, mengedepankan proses mendengar untuk menyerap informasi lebih baik, berkomunikasi sebagai media pemersatu, hingga semua pengalaman dan kemampuan dituangkan dalam tulisan. Produk nyata sebagai seorang literat adalah tulisan dan melahirkan buku. Santri dan pemuda tak perlu memegang senjata atau bambu runcing, cukup memegang pena untuk memberantas sebagian problematika bangsa saat ini. Pena digurat diatas kertas dengan percikan gagasan brilian setiap katanya, sehingga setiap pembaca tersadarkan secara global. Seperti pepatah menyebutkan

“Satu peluru hanya dapat menembus satu kepala,

tapi satu buku dapat menembus ribuan bahkan jutaaan kepala.”

 

Bahkan seorang Pramoedya Ananta Toer berpesan,

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis,

ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

 

Mari membaca.

Mari menulis.

Mari berkarya sederhana tapi luar biasa dengan literasi.
Salam Santri.

Salam Pemuda.

Salam Literat.

 

Ditulis oleh

Assyin Ubara

Login Raudhatul Jannah